Sabtu, 13 Oktober 2012

just share : Sustainable Brain Drain


SUSTAINABLE BRAIN DRAIN (migrasi intelektual)
. Brain-drain dimaknai sebagai pola aliran perpindahan searah terhadap orang-orang terdidik dan memiliki keahlian yang tinggi dari Negara asalnya ke Negara lain untuk mencari pekerjaan, penghasilan, atau kehidupan yang lebih baik.[1]
KEKURANGAN
Hal inilah yang kemudian menjadi suatu ketakutan tersendiri bagi negara asal brain drain, mereka yang dikirim dalam rangka brain-drain ke luar negeri akan menjadi sangat terdidik, atau bahkan mencoba bekerja di sana. Namun hal itu, justru menjadi ketakutan dari pemerintah karena jika banyak tenaga kerja ataupun pelajar yang keluar negeri (dan tidak berniat pulang) maka sumber daya pembangunan di negaranya sendiri akan berkurang dan bahkan tidak ada sama sekali. 
KELEBIHAN
Bagaimanapun juga, brain-drain juga telah memberikan kontribusi bagi negara asalnya dengan adanya devisa yang berasal dari para tenaga kerja ahli yang sengaja mengirimkan uangnya ke keluarga di negara asalnya. Ketika para ekspatriat pada umumnya menggunakan pembayaran tersebut untuk mendukung keluarga mereka sendiri yang ada di sana, menghasilkan keuntungan ekonomi yang luas meliputi hal-hal yang spesifik. Pengiriman uang, sebagaimana ditemukan oleh Bank Dunia, membantu mengurangi kemiskinan dan menyetarakan pendapatan. Bahkan, tingginya angka migrasi telah mengurangi biaya perjalanan lintas negara dan memungkinkan bagi pekerja yang kurang terdidik dan orang-orang yang kurang mampu untuk mencari kesempatan perekonomian di luar negeri – yang tidak hanya menyetarakan kesuksesan dan kesempatan ekonomi tetapi juga membantu untuk meniadakan efek ketidakseimbangan dari brain drain.
Hal yang mengakibatkan terjadi brain drain tenaga ahli Indonesia, antara lain :
·         tersedianya fasilitas pendidikan, teknologi dan penelitian yang lebih memadai di luar negeri
·         kesempatan memperoleh pekerjaan  yang lebih luas
·         tradisi keilmuan dan tradisi yang tinggi (etos kerja yang lebih menantang)

FAKTOR PENDORONG
 Pertama, konsep migrasi internasional mengandung makna pergerakan manusia yang melewati batas-batas negara (internasional). Dari konsep ini ada beberapa elemen penting yang perlu dicermati. Pertama, konsep negara bangsa (nation state). fungsi negara yang membuat aturan tentang lalu lintas manusia yang melewati batas negaranya. Peraturan itu diimplementasikan dalam hukum keimigrasian dan hukum kewarganegaraan.

Kedua, manusia yang melakukan perjalanan lintas negara.
Ketiga, mencari kehidupan yang lebih baik.
Dampak Brain Drain
Dampak Negatif
Mengenai diaspora manusia terdidik Indonesia, berbagai data menunjukkan migrasi pekerja terampil (skilled workers) dari Indonesia ke negara-negara lain cenderung meningkat sejak dekade 1990-an. Meskipun angka brain drain disebutkan hanya sekitar 5 persen, angka itu sangat berarti bagi Indonesia yang pemerintahnya sampai sekarang baru mampu menyisihkan 7-9 persen dari produk domestik bruto untuk anggaran pendidikan.

Artinya, apa yang sudah diinvestasikan dengan mahal oleh masyarakat atau bangsa ini, yang menikmati akhirnya justru negara lain, terutama negara-negara maju yang mampu menawarkan peluang, tantangan, atau jaminan kesejahteraan yang lebih baik dibandingkan dengan Indonesia.
Dampak Positif
Fenomena “Brain Drain” ini mengandung suatu sisi positif sebagaimana yang diajukan oleh Maurice Schiff. Sisi positif tersebut adalah bahwa “Brain Drain” dapat memicu “Brain Gain” (kebalikan dari “Brain Drain”) di dalam negeri. Dalam pandangannya, “Brain Drain” akan menimbulkan persepsi di kalangan calon tenaga kerja bahwa untuk bisa mendapatkan pekerjaan di negara maju (dan mendapat gaji besar), mereka harus memiliki basis pengetahuan yang tinggi.

Hal ini akan menimbulkan besarnya tuntutan terhadap institusi pendidikan yang bisa memberikan pengetahuan yang berkualitas. Di bawah hukum kapitalisme pasar, institusi-institusi pendidikan tersebut akan berlomba-lomba (baca: berkompetisi) memperbaiki kualitasnya, baik dalam hal substansi maupun fasilitas. Hasilnya, kualitas pendidikan di dalam negeri pun bisa senantiasa meningkat.[2]

Mengubah Brain Drain menjadi Brain Gain

Salah satu negara yang berhasil mengubah brain darin menjadi sebuah keuntungan negaranya adalah India. Di India, bahkan short-term returnees pun luar biasa berperan pada kemajuan yang dicapai India di bidang ekonomi dan iptek dewasa ini. Di India ada yang disebut program Transfer of Knowledge Through Expatriate Nationals (TOKTEN), yang terbukti mampu menjadi jembatan ampuh transfer teknologi dari negara-negara maju ke India sehingga India dewasa ini semakin dikenal sebagai gudangnya ahli IT dan tenaga profesional dunia.

Mereka bukan hanya membawa transfer teknologi dan pengetahuan, tetapi juga budaya kerja yang efisien dan kompetitif yang membuat negara-negara maju selama ini mampu tampil unggul dalam kancah percaturan dunia.

KESIMPULAN

Fenomena brain drain yang merugikan negara berkembang hanya bisa dibalikkan jika para technical experts itu mau kembali ke negara asal, dengan membawa serta pengetahuan dan teknologi baru yang mereka dapat selama mereka hidup di luar negeri.Dengan begitu, akan terjadi transfer pengetahuan dan teknologi seperti diharapkan. Ini penting karena pada era globalisasi, siapa yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, dia yang akan mendapatkan pangsa pasar.

Hanya saja diakui, dampak positif transfer teknologi melalui migrasi biasanya baru bisa dirasakan jika kepulangan para migran itu terjadi dalam jumlah besar, seperti di India. Kepulangan itu sifatnya bisa permanen (permanent returnees), tetapi bisa juga hanya untuk jangka pendek (short-term returnees)

Untuk merangsang para diaspora secara suka rela pulang atau ikut berpartisipasi dalam membangun negeri asalnya, pemerintah harus agresif, seperti di India. Kuncinya di sini adalah bagaimana menjaga agar diaspora India di berbagai negara tetap memiliki ikatan kuat dengan keluarga, masyarakat, atau negara asalnya. Ini seharusnya juga bisa dilakukan Indonesia[3]

Peran Pemerintah
Oleh karenanya, pemerintah tidak seharusnya tinggal diam sambil menyaksikan perlombaan (baca: kompetisi) di antara institusi pendidikan ini, melainkan turut aktif memantau dan menciptakan kondisi yang bagus untuk persaingan ini. Partisipasi aktif tersebut bisa dengan memberikan penghargaan-penghargaan kenegaraan bagi institusi pendidikan yang mampu menorehkan prestasi; bisa juga dengan mengadakan kontak kerja sama dengan negara-negara maju di bidang pendidikan. Untuk menjaga keseimbangan antara institusi pendidikan bonafide dengan yang “biasa saja”, pemerintah dapat menjembataninya dengan memberikan subsidi.
Di sisi lain, pemerintah juga harus terlibat secara moril. Akan mubazir apabila setelah tenaga kerja memiliki cukup bekal pengetahuan, akhirnya mereka “lari” ke negara maju karena permasalahan-permasalahan sosial-politik. Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah, pemerintah harus mampu meningkatkan kadar nasionalisme lewat komunikasi politik. Bagaimanapun juga hal ini, walaupun terkesan utopis, telah menjadi faktor signifikan yang mendasari diaspora India dan Taiwan untuk bersumbangsih pada negaranya.[4]






Tidak ada komentar:

Posting Komentar