Jumat, 04 Februari 2011

Danny Gokey_ Tiny Life



Looking down out of this little round window
On silver wings at 20,000 feet
With lakes and streams and fields of green
I tend to think the most peculiar things

Ribbons of highways, side roads and byways
People going all ways, always in a hurry
Gotta get there, but just where?
From up here, ?I'm not sure
Where it's all going or what it all means

But sometimes I think, it's just a simple thing
I close my eyes and I realize all I really need
Is love I have, and the love I have to give
Anything else there is - is insignificant
In this tiny life

Wheels hit the runways, Mondays run into Mondays
And some days are better than some days
Can't see the sky, skyscrapers too high
Thirty second daydream at another red light
I'm back in my hometown of roads that we rode down
Those sights and sounds are just yesterday's now
There's deadlines and stress lines and too much on my mind
I'm getting it all, but what's it all for?

Sometimes I think, it's just a simple thing
I close my eyes and I realize all I really need
Is love I have, and the love I have to give
'Cause anything else there is - is insignificant
In this tiny life

The love we make, the dreams we share
The friends
we have in our short time here
It's knowing God's grace, the touch of a hand
Holding a baby, calling mom and dad
It's making the most of the moments we have
And getting to live long enough to look back
On the years, the sweet tears of joy and laughter
It's all that really matters

Sometimes I think, it's just a simple thing
I close my eyes and I realize all I really need
Is love I have, and the love I have to give
Anything else there is - is insignificant
It doesn't matter, in this tiny life

Rabu, 02 Februari 2011

HUKUM INTERNASIONAL DAN NEGARA KEPULAUAN

Konsep Negara Kepulauan
Kondisi geografis indonesia sebagai negara kepulauan yang dipersatukan oleh lautan dengan pancasila sebagai ideologi bangsa telah melahirkan suatu budaya politik persatuan dan kesatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam upaya untuk  mencapai tujuan dan cita-cita nasional bangsa Indonesia dihadapkan dengan  berbagai tantangan yang harus ditanggulangi dimulai dengan menjaga kedaulatan Negara sampai masalah-masalah perbatasan yang timbul seputar pencaplokan wilayah oleh Negara lain sampai pada masalah pemeliharaan wilayah-wilayah sekitar perbatasan termasuk kesejahteraan penduduknya.
Sesuai dengan UNCLOS (United Nation  Convention on the Law Of the Sea) tahun 1982 bahwa Indonesia sebagai Negara kepulauan maka peran pulau terluar menjadi sangat vital, hal ini berkaitan dengan penentuan batas atau luas wilayah suatu Negara. Prinsip Negara kepulauan menganut cara untuk menentukan luas Negara dan perairan teritorialnya.
Berikut adalah dasar pertimbangan pengambilan kebijakan dan strategi penataan ruang pulau-pulau kecil pada kawasan perbatasan republik Indonesia:
  1. Negara Kesatuan Repubik Indonesia (NKRI) merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia, yang memiliki 17.500 pulau yang tersebar di lautan dengan luas 75% dari luas territorial RI.
  2. Berdasarkan Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) 1982, Indonesia memiliki kedaulatan atas wilayah peraiaran seluas 3,2 juta km2 yang terdiri dari perairan kepulauan seluas 2,9 juta km2 dan laut teritorial 0,3 juta km2. Selain itu Indonesia juga mempunyai hak ekslusif untuk memanfaatkan sumber daya kelautan dan berbagai kepentingan terkait wilayah seluas 2,7 km2 pada perairan ZEE (sampai dengan 200 mil garis pangkal).
  3. Menurut pasal 47 Ayat 1 Konvensi Hukum Laut Internasonal (UNCLOS) 1982, Negara kepulauan berhak menarik garis pangkal kepulauan (archipelagic baseline), sebagai dasar pengukuran wilayah perairannya dari titik-titk terluar dari pulau-pulau terluarnya. Hal ini menunjukan nilai strategis pulau-pulau kecil pada kawasan perbatasan sebagai ‘gatekeeper’ wilayah kedaulatan RI.
  4. Kawasan perbatasan sebagai ‘beranda negara’ perlu mendapatkan prioritas penanganan seiring dengan berkembangnya berbagai issu dan permasalahan yang dihadapi.
LAUT LEPAS 


Seperti ungkapan yang mengatakan bahwa gambar mewakili beribu bahasa, maka gambar di atas menjadi gambaran singkat mengenai konsep Negara kepulauan yang sangat menguntungkan terutama bagi Negri kita Indonesia. Sedikit tambahan, Negara masih mempunyai kedaulatan mutlak dimulai dari pulau terluarnya sampai pada laut wilayah, sementara itu untuk zona tambahan dan zona ekonomi eksklusif Negara juga masih memiliki hak untuk berdaulat(dengan melakukan konservasi, penelitian, research, dll).
Maka dapat dibayangkan ketika Indonesia kehilangan sipadan dan ligitan berapa besar kerugian Negara khususnya dalam hal sumber daya alam, berkaitan dengan konsep diatas.

2.  MELIHAT SENGKETA PULAU MIANGAS
          Pulau yang menjadi sengketa ini dahulu adalah sasaran para bajak laut yang datang merebut harta benda dan membawa penduduk pulau ini untuk dijual sebagai budak di Filipina, Pulau Miangas adalah salah satu pulau terluar Indonesia dengan luas wilayah mencapai 3,15km2 termasuk dalam desa Miangas, kecamatan nanusa, KabupatenTalaud, provinsi Sulawesi Utara,  jumlah penduduknya 678 jiwa (data BPS/2003) dengan rata-rata bermata pencaharian sebagai petani kopra dan nelayan. Jarak Pulau Miangas menuju Kecamatan Nanusa adalah sekitar 145 mil, sementara jarak kearah utara atau pantai Mindanau hanya sejauh pandangan mata sekitar 60 mil, pada masa penjajahan Spanyol di Filipina pulau ini dikenal dengan nama Poilaten(lihat pulau di sana) karena banyaknya tumbuhan palm maka berubah nama menjadi Las Palmas
Berdasarkan pernyataan konsulat jendral RI untuk Davao City Filpina, mengenai pernyataan Filipina yang mengklaim bahwa pulau miangas dan pulau manoreh merupakan wilayah Filipina berdasarkan peta spanyol 300 tahun lalu serta memasukan kedua pulau tersebut sebagai daftar dalam peta pariwisata Filipina dengan mengakui bahwa keberadaan pulau tersebut berdasarkan traktat paris tahun 1989.
Sengketa yang terjadi antara Indonesia dan Filipina adalah perairan laut antara pulau miangas (Indonesia) dan pantai Mindanao (Filipina) serta dasar laut antara pulau balut di Filipina dan pantai laut Sulawesi yang jarak keduaanya kurang dari 400 mil. Berdasarkan hasil keputusan pengadilan arbitrasi di Den Haag tahun 1928 Indonesia mendapatkan hak penuh atas kepemilikan P.Miangas.
Pulau ini memiliki sejarah yang panjang karena telah menjadi rebutan antara pemerintah Hindia Belanda dan Amerika, secara geografis penjajah dari amerika menyentuh bagian utara Sulawesi sekitar akhir abad ke 19, baru pada tahun 1819 Pulau Miangas diklaim menjadi jajahannya setelah berhasil menaklukan Spanyol yang telah menjajah Filipina selama lebih dari ratusan tahun, pihak Belanda tidak menyetujui hal tersebut dengan tidak mereservasi secara formal traktat paris 1898 yang berisikan garis-garis demarkasi yang ditetukan setelah Amerika berkuasa atas Filipina termasuk Pulau Miangas atau La Palmas.
Indonesia sebagai jajahan pemerintah Hindia Belanda pada saat itu belum dapat berbuat banyak dalam menanggapi kasus ini, setelah Indonesia merdeka dan berada dalam masa pemerintahan Soekarno, hampir tidak ada pembangunan di daerah itu,  terutama pendidikan yang saat itu lebih banyak dijalankan oleh yayasan pendidikan Kristen (YPK) dan ini merupakan dampak dari pembangunan nasional pada masa lalu, dan bahkan masih berlaku hingga kini.
Meski secara geografis dan berdasarkan traktat paris Filipina mempunyai alasan mengapa pulau ini dimasukan kedalam peta pariwisata, namun secara historis serta adat yang terdapat di pulau tersebut pulau ini termasuk dalam wilayah Indonesia dengan kembali melihat kepada sejarah saat pemerintah kolonial Belanda memenangkan sengketa ini ketika dibawa ke Mahkamah Internasional pada tahun 1928 dan dipertegas kemudian saat penentuan demarkasi antara Amerika dan Belanda, wakil raja Sangihe Talaud, serta tokoh adat Nanusa dihadirkan di Miangas. Dalam pertemuan untuk menentukan pulau itu masuk jajahan Belanda atau Spanyol, salah seorang tokoh adat Petrus Lantaa Liusianda mengucapkan kata-kata adat bahwa Miangas merupakan bagian dari Nanusa. Gugusan Nanusa yang dimulai dari pulau Malo hingga Miangas.
Sengketa ini diselesaikan di arbitrasi internasional DR. Max Huber memenangkan Belanda atas kepemilikan pulau tersebut, diperkuat lagi dengan perundingan antara Amerika Serikat dan Hindi Belanda di atas kapal Greenphil 4 april 1928, memutuskan pulau Miangas masuk ke wilayah kekuasaan Hindia Belanda karena persamaan budaya dengan masyarakat Talaud. Semakin dipertegas dengan diresmikannya tugu perbatasan anatara Indonesia dan Filipina di tahun 1955, dimana Miangas berada di wilayah Indonesia, serta pernyataan Menlu Filipina Blas F.Ople, menyatakan Miangas sah milik Indonesia di tahun 2002.

1.      Perspektif Hukum Internasional
Berdasar atas latar belakang masalah atau sengketa yang terjadi yang menjadi subjek hukum dalam sengketa ini adalah Negara, terbagi dalam dua masa, yaitu masa kolonialisasi subjeknya adalah Amerika dan Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda dan masa sekarang antara Indonesia dan Filipina, menunjukan bahwa terdapat pula dua karakteristik (sistem hukum internasional) yang berlaku masih tradisional dengan Negara sebagai subjek hukum, dan Modern dikatakan demikian dengan melihat kembali ke alur sejarah maka sengketa berawal dari masa kolonialisme dimana traktat (perjanjian antar Negara) sebagai salah satu point yang membentuk krakteristik sistem hukum internasional dan juga waktu kejadian yang menunjukan kejadian tersebut sudah ada sejak akhir abad ke-19, dikatakan modern karena munculnya pemikiran-pemikiran baru yang menyatakan bahwa perlu adanya delimitasi antara dua negara yang bersengketa sehingga tidak akan memperpanjang lagi sengketa yang ada.
 Sengketa ini melibatkan beberapa Negara sekaligus antara lain ialah pada masa kolonialisme antara Amerika dan Hindia-Belanda serta berlanjut antara Indonesia dan Filipina, Wilayah yang menjadi perebutan sebenarnya adalah wilayah perairan air antara pulau miangas dan  garis pantai Mindanao dan dasar laut antara pulau balut di Filipina dan pantai laut Sulawesi yang jarak keduaanya kurang dari 400 mil (objek permasalahan), dalam hal ini kepemilikan atas pulau miangas akan menentukan siapa yang berhak atas wilayah perairan yang ada disekitar pulau tersebut.
Kejadian yang berawal pada masa kolonialisme hindia belanda di Indonesia serta penjajahan yang dilakukan amerika terhadap Filipina akan menjadi jawaban kapan sengketa ini terjadi, dengan traktat paris tahun 1898 yang menjadi sengketa antara pemerintah kolonial hindia-belanda dan amerika terkait garis-garis demarkasi penjajahan amerika terhadap Filipina yang didalamnya termasuk pulau palmas (miangas). Berdasarkan atas traktat paris 1898 tersebut, Filipina beranggapan bahwa miangas termasuk kedalam wilayah teritorialnya dengan pernyataan Filipina dengan memasukan pulau miangas kedalam peta pariwisata Filipina.
2.      Tinjauan Konsep Negara Kepulauan
Indonesia sangat beruntung terkait dengan sejarah masyarakat yang hidup di P.Miangas, karena jika seandainya Indonesia tidak memiliki keterkaitan dengan sejarah masyarakat pulau miangas itu akan mejadikan Filipina dengan mudah menjadikan miangas sebagai pulau terluarnya.
Letak pulau yang menjadi sengketa ini berada hanya sejauh mata memandang jika terlihat dari pantai mindanau Filipina, sementara keadaan sebaliknya jarak pulau ini begitu jauh, jarak antara Miangas dan Bitung sejauh 276 mil selama 22 jam perjalanan, sedangkan jika menuju ke ibukota Kabupaten Talaud jaraknya mencapai 117 mil dengan lama playaran sekitar 10 jam. Sebaliknya jarak dari Miangas ke Santa Agustine atau General Santos di Filipina hanya 60 mil dan dapat ditempuh selama 4 jam perjalanan.
Dengan gambaran singkat di atas Filipina mempunyai akses lebih terhadap pulau Miangas, jika Filipina menarik titik ukur sejauh 200 mil dari garis pantai Mindanao maka P.Miangas sudah termasuk kedalam wilayah kedaulatannya.
Indonesia sedemikian beruntungnya dengan konsep Negara kepulauan, sudah seharusnya membangun wilayah perairannya dengan sungguh-sungguh.

Dengan sistem hukum internasional yang semakin modern serta mengacu pada prinsip-prinsip Negara demokrasi dimana Negara demokrasi tidak dan tidak akan saling berperang terhadap Negara demokrasi lainnya, maka penulis menekankan penyelesaian masalah perbatasan laut dengan menggunakan prinsip delimitasi yaitu dengan mengesampingkan faktor-faktor yang hanya akan memperpanjang sengketa dengan cara paling adil dan seadil-adilnya.
Struktur system politik internasional yang anarki memang tidak bisa menghindarkan Negara dari situasi yang konfliktual, Indonesia harus memperkuat kekuatan militer khusunya angkatan laut guna menjaga wilayah perairan laut yang dimilikinya.

SUMBER:

Inilah Dunia Realis


NEO-REALISME
Hans J Morgenthau… “Anda telah salah memahami politik sebab anda telah salah memperkirakan sifat manusia” (Waltz 1959: 40).
Kritik Terhadap Liberalisme
Jika anda beranggapan bahwa dengan terwujudnya  pasar bebas dan demokrasi maka perdamaian akan terjadi dan perang dapat terhindarkan seperti apa yang dipercayai oleh kaum Liberal, anda sedang berada dalam masalah pemahaman seperti apa yang tertulis di atas, kaum Liberal dan kerjasama internasional dalam bentuk pasar bebas tidak dapat menghilangkan struktur sistem internasional yang anarkhi, kaum liberal telah mangabaikan sesuatu yang disebut oleh kaum Neo-realis sebagai keuntungan relative (relative gain) yaitu kerjasama yang lebih menguntungkan bagi salah satu negara. Karena ketika negara-negara bekerjasama melalui institusi, mereka masih melakukannya atas dasar kepentingan sendiri dan selalu mengarah pada menolong serta memelihara dirinya sendiri yang tidak satupun negara lain akan melakukuan untuknya kecuali dirinya sendiri.
Yang harus dan patut diketahui adalah tidak ada satupun aliran-aliran dari liberalis dapat melakukan penipuan terhadap argument Neo-realis tentang struktur system internasional yang anarkhi. Sepanjang anarkhi berlaku, tidak ada alsan bagi negara untuk  melepaskan diri dari menolong dirinya sendiri (self-help) dan dilemma keamanan (security dilemma).
“Sayangnya, tidaklah masuk akal bagi negara-negara demokrasi liberal sekalipun untuk mengubah anarki” (Mearsheimer 1991: 123).

Sedikit Perbedaaan Dengan Realisme
Menolak pendekatan yang dilakukan realis bahwa manusia pada dasarnya adalah jahat, bagi kaum neo-realis, manusia pada hakekatnya adalah baik dan faktor struktur system atau lingkungan yang merubah manusia menjadi jahat. Dapat dikatakan focus dari neo-realis adalah terhadap struktur system bukan pada manusia yang yang menciptakan system atau mengoperasikan system. Keluar dari perbedaan tersebut, Neo-Realis hingga sekarang masih  berada tepat dibawah realis, artinya adalah kedua paham ini tidak terpisahkan.

Keseimbangan Kekuatan (Konsep Bipolar)
Terkait dengan masalah perdamaian dan perang, neo-realis mempunyai cara sendiri dengan menawarkan sebuah konsep sistem, dimana dalam dunia internasional yang anarki diperlukan kekuatan yang besar dan mampu memelihara serta mengontrol system yang anarki.
Kenneth Waltz (1979) seorang Pemikir neo-realis paling terkemuka dan tidak diragukan lagi, memberi gambaran terhadap system bipolar yang terjadi semasa perang dingin. Yang terjadi saat itu adalah perang kekuatan antara dua Negara yang menjadi polar Amerika dan Uni-soviet, keadaan seperti inilah yang dimaksud sebagai keadaan damai yang tidak terlepas dari situasi konfliktual.
Waltz lebih menganggap bahwa sistem bipolar lebih menjamin keamanan dunia dibandingkan dengan sistem multipolar. Sekali lagi, konsep perimbangan kekuatan menjadi fokus utama bagi konsep perdamaian dunia versi Waltz.
Dijelaskan oleh Tim Dunne dan Brian C Shmidt bahwa :
"Waltz menganggap bahwa negara-negara, khusunya Negara Negara adidaya, memiliki kesensitifan pada kapabilitas dari negara-negara lain"
Kemudian dikutip oleh Robert Jackson dan George Soerensen dari Theory of International Politic, Kenneth Waltz, mengenai keyakinannya pada sistem bipolar dibanding sistem multi polar :
"Hanya dengan dua negara berkekuatan besar, keduanya dapat di harapkan bertindak untuk memelihara sistem"
 Tetap Meyakinkan Meski Perang Dingin Telah Berakhir
Berakhirnya perang dingin pada tahun 1989, menandai berubahnya system bipolar menjadi mutipolar dan keadaan ini dimanfaatkan oleh beberapa kalangan untuk kembali mencoba melawan  konsep neo-realis ini dengan beranggapan bahwa perdamaian akan terjadi era pasca perang dingin ternyata tidak sesuai dengan apa yang mereka (kaum endisme) inginkan.
Lihatlah bagaimana realis menjawab klaim endisme yang paling ekstrim yaitu sebuah frase yang diajukan oleh Francis Fukuyama tentang berakhirnya sejarah, serta pedamaian yang terjadi antar Negara-negara demokratis, dengan pola pikir bahwa politik internasional akan berjalan relative aman dan damai tanpa dikejutkan lagi oleh tragedy kemanusiaan yang diakibatkan oleh perang. Realism menjadi teori usang dan bagi siapapun yang berpikir poitik internasional masih tetap anarkis setelah perang dingin berlangsung adalah pemikiran yang keliru.
Tanpa panjang lebar, inilah beberapa fakta mencengangkan tentang fenomena politik dunai yang terjadi setelah perang dingin (1989) yang juga memberi tamparan keras terhadap kaum endisme: Amerika Serikat tercatat melakukan  peperangan dengan dua Negara yang relative lebih lemah sejak akhir perang dingin, yaitu dengan Irak(1991 & 2003), Kosovo (1999), afganistan (2001), dan hampir saja menyerang Korea Utara pada tahun 1994, juga konflik India-Pakistan soal klaim atas Kashmir, kedua Negara ini juga dipersenjatai dengan senjata nuklir, serta kawasan teluk Persia yang sangat rentan dengan konflik terkait peningkatan senjata nuklir oleh Iran. Hal ini menjadi bukti nyata betapa neo-realis menjawab dengan pasti fenomena yang terjadi dalam dunia internasional, dan membuktikan bahwa anarki tetap berlaku baik abad sebelumnya sampai abad saat ini.
Realism telah mendominasi Hubungan Internasional pada berbagai tingkatan, mulai dari para mahasiswa, sarjana, dan para ilmuan hubungan internasional. Selama 40 tahun, para sarjana dan praktisi hubungan internasionaltelah berpikir dan bertindak dalam istilah yang simplistic, tapi sangat bermanfaat dalam menjelaskan masalah-masalah internasional, dan hampir diterima secara universal yaitu perang dingin.
Dengan ini anda sudah seharusnya berhenti bermimpi dan kembali menatap fenomena dunia internasional yang sedang terjadi, sementara itu apakah anda masih mempunyai alasan untuk menyangkal argument Neo-Realis tentang sruktur system internasional yang anarki? Sekian dan terima kasih.

REFERENSI:
Robert Jackson dan Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005