Senin, 14 Mei 2012

Masalah Minoritas: Etnik Tionghoa di Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN
A. PENGANTAR
Bhineka Tunggal Ika, kalimat yang pantas untuk menggambarkan ragam suku, agama, ras dan budaya yang bersatu dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia sekaligus membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang rawan terhadap konflik etnis. Semboyan Bhneka Tunggal Ika belum seluruhnya menjadi akar dalam setiap tindakan individu, kelompok atau etnis yang ada sehingga sering sekali konflik yang terjadi berakhir dengan air mata dan tetesan darah diseluruh pelosok negri menggambarkan rasa persatuan dan kesatuan belum berlaku sepenuhnya di negeri ini.
Konflik antar etnis yang rentan terjadi karena adanya perbedaan yang membedakan etnis satu dan etnis lainnya yang memang tidak dapat dikatakan sama, dijadikan sebuah alasan untuk menimbulkan rasa “kami”, dan “mereka”, pola pandang yang melihat suku atau etnis lain diluar dari etnis mereka adalah musuh begitu juga sebaliknya sering mengakibatkan konflik yang berujung SARA yang sangat sering bermula dari konflik individu yang mengarah pada konflik kolektif dengan melibatkan banyak pihak atau kelompok (latar belakang atau awal terjadinya konflik Tarakan, Bugis vs Kalimantan), factor ekonomi juga menjadi penyebab utama konflik di bangsa ini contohnya seperti perebutan jasa preman yang melibatkan suku Ambon dan Flores (kasus Blowfish) yang hngga di pengadilan masing-masing pihak masih menunjukan etnosentrisnya begitu pula masih segar teringat mengenai konflik antar agama yang terjadi di Poso yang bermula dari beberapa pemuda yang berbeda agama sering mabuk-mabukan hingga timbul sentiment kepercayaan dan kemudian menjadi konflik lalu kemudian diperparah dengan isu akan di bakarnya sebuah masjid oleh umat kristiani. Ketidakmerataan penyebaran penduduk juga dapat menimbulkan masalah. Kepadatan penduduk yang mendororong etnis Madura melakukan migrasi ke Pulau Kalimantan. Di mana masih membutuhkan kebutuhan akan Sumber Daya Manusia untuk mengolah kekayaan alam dan membangun infrastruktur perekonomian. Pencapaian atas kerja keras, hidup hemat bahkan penderitaan yang dirasakan etnis Madura terbayarkan sudah ketika keberhasilan sudah ditangan. Dengan menguasai sektor-sektor perdagangan sehingga orang-orang non Madura yang lebih awal bergerak di bidang itu terpaksa terlempar keluar.
Nampaknya kesenjangan sosial ekonomi dari pendatang yang sebagai mayoritas menguasai sektor ekonomi membuat konflik menjadi lebih memanas. Persaingan hidup antar etnis ini pun terjadi. Timbullah kecemburuan sosial antara etnis pendatang (Suku Madura) dengan etnis asli (Suku Dayak) yang mendiami Pulau Kalimantan ini. Keadaan inilah yang dimanfaatkan oleh misionaris untuk mencapai tujuan dengan memprovokasi keduanya. Isu yang diangkat yaitu sentimen agama karena hal-hal yang menyangkut prinsip bagi manusia yang mudah untuk digiring ke daratan. Meletuslah konflik Sampit di Kalimantan antara Etnis Dayak dan Etnis Madura. Sampai saat ini untuk menentukan pihak yang benar sangat sulit. Dikarenakan semua pihak yang bertikai bisa dikatakan benar dan bahkan keduanya bisa dikatakan salah. Keberagaman yang ada di Indonesia sangat rentan terjadinya konflik ras.
B. RUMUSAN MASALAH
Dengan melihat uraian di atas maka rumusan masalah yang kami ambil adalah:
1.      Bagaimana sejarah etnis tionghoa di indonesia?
2.      Intervensi yang dilakukan oleh negara?
3.      Bagaimana respon Negara terhadap masalah etnis Tionghoa?
C. ANALISA
Konflik yang terjadi disini lebih diakibatkan karena kesenjangan ekonomi dimana etnis china atau Tionghoa ditinjau dari segi sejarah serta pola hidup dan perjalanannya di Indonesia hingga saat ini masih bisa dirasakan dominasinya dalam bidang ekonomi, akan baik jika kelompok masyarakat yang hidup bersama dengan etnis ini dapat menanggapi dengan baik domnasi etnis ini serta akan sangat berbahaya ketika etnis ini kemudian dinilai merusak mata pencaharian masyarakat serta memonopoli seluruh sendi-sendi perekonomian. Dalam konflik etnis ini dapat dikatakan bahwa actor utama dalam konflik ini adalah pemerintah yang kemudian mempengaruhi pola hubungan antara etnis tionghoa dan pribumi.
Konflik etnis yang berhubungan dengan basis ideology memang sanagat rentan, apabila ada pihak ketiga yang mencoba untuk memprovokasi hubungan tersebut, sialnya konflik etnis antara pribumi dan tionghoa lebih banyak disebabkan sikap diskriminasi oleh pemerintah terhadap etnis tertentu sehingga mengakibatkan kecemburuan social yang berujung pada konflik etnis di Indonesia.
Untuk mengerti tempat, sikap, dan kedudukan suatu minoritas, tidak ada jalan lain kecuali mendalami pengertian tentang evolusi minoritas etnik tersebut. Hal ini dimaksudkan agar semakin jelas kompleksitas struktur, konflik dalam dan luar, hubungannya dengan segala variasinya, dengan mayoritas (yang juga kompleks dan berbeda-beda), permulaan dan konsekuensi dan perubahan definisinya sebagai minoritas. Tanpa pekerjaan berat ini, minoritas (dan juga mayoritas) terus saja digambarkan secara simplistis, menurut dongeng biasa dan kasar, yang seringkali penuh dengan kebencian, caci maki, dan prasangka yang dimaksudkan untuk mengisolasi minoritas itu dan menghilangkan unsur kemanusiaannya. Satu hal yang pada intinya dimaksudkan untuk membekukan secara masif status (sosial-politik) kelompok tersebut sebagai minoritas.

BAB II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH KONFLIK
Sejarah Indonesia khususnya di era Orde Baru (1967-1998) adalah sejarah tentang politisasi kepentingan menegaskan garis demarkasi atau status quo di bawah pimpinan presiden Soeharto, sejarah sudah seharusnya menjadi catatan referensi berharga mengenai sistem politik yang diterapkan presiden Soeharto karena system politik yang dijalankan itu sekaligus membawa dampak positif dan negatif yang tidak kecil terhadap warganya, terutama etnik tionghoa.
Prof. Donald K. Emmerson (dalam Indonesia beyond soeharto, 2011) dibawah rezim orde baru yang otoritarianisme pun Indonesia mempunyai dinamisme dan kemajemukannya sendiri, di luar jangkauan rezim. Mayoritas terbesar orang Indonesia yang hidup sekarang adalah keturunan kaum migrant Austronesia ke pulau-pulau di Nusantara, yang mulai berpindah ke selatan dari daerah yang disebut Taiwan, sekitar 5.500 tahun silam. Salah satu dari 200 lebih kelompok etnik ini adalah suku tionghoa yang  sudah mulai bermigrasi sejak kaisar china mengirim ekspedisi angkatan laut ke kawasan maritim asia tenggara. Menurut catatan sejarah kaisar china ini berusaha mengukuhkan hegemoninya di nusantara, yang baru berakhir setelah tahun 1433. Namun pedagang tionghoa mempunyai sejarah panjang dan tetap eksis di kepulauan Nusantara hingga kini, bersama-sama dengan kaum pedagang yang berasal dari daratan India, Asia Tenggara, Asia Barat, Asia Timur, dan Asia Tengah. Peranan etnik Tionghoa di Nusantara mempunyai akar sejarah yang panjang, lebih dari 500 tahun.
Indonesia khususnya sejarah tentang minoritas etnik Tionghoa yang ‘disembunyikan’, terutama selama masa kekuasaan orde baru. Termasuk “politik kesengajaan” cipataan rezim orde baru, yang dikemudian hari menggiring orang dari etnik Tionghoa untuk dinamai sebagai “binatang ekonomi”.
Masa itu seluruh catatan sejarah cenderung terjebak dalam pola pikir atau mindset rezim orde baru yang melihat warga tionghoa sebagai “Masalah Cina” sebuah masalah politik yang pada awalnya diciptakan oleh pemerintah kolonal belanda ketika menghadapi gerakan arus nasionalisme tionghoa di tanah nusantara.
Pada permulaan abad 20 seorang wartawan belanda menulis buku tentang kemiskinan di Indonesia. Pemerintah belanda pada maa itu mulai merasa terpaksa harus berbuat sesuatu untuk mengubah keadaan ekonomi, kesehatan dan pendidikan rakyat biasa di tanah jajahannya. Si jurnalis belanda tersebut mencoba mencari penyebab terjadinya kemiskinan tersebut, hal yang menarik dalam bukunya bukan soal politik ekonomi dan social colonial yang disalahkan, melainkan etnik tionghoa.
B. PEMETAAN MASALAH
Dalam konteks konflik etnis yang terjadi antara etnis tionghoa dengan masyarakat pribumi (masyarakat indonesia) setidaknya ada tiga perspektif yang sering digunakan dalam melihat konflik, ketiga perspektif tersebut adalah:
a)      Perspektif primordial, secara garis besar perspektif ini menggambarkan konflik sebagai sesuatu yang tidak dapat terhindarkan.
b)      Perspektif instrumentalis, melihat etnis dan agama bukanlah sebagai penyebab konflik melainkan sebaga sarana untuk mencapai tujuan dalam konflik tersebut.
c)      Perspektif konstruktivis, melihat etnis dan agama sebagai merupakan indentitas  yang di kostruksikan secara sengaja dalam situasi konflik.
C. INTERVENSI NEGARA DAN NON-NEGARA
Sebagai etnis yang dominan dalam bidang ekonomi etnis Tionghoa tidak terlepas dari intervensi Negara baik bersifat negative atau positif, dalam masa pemerintahan orde baru intervensi banyak bersifat diskriminatif.
Menurut Theodorson & Theodorson, (1979: 115-116): Diskriminasi adalah perlakuan yang tidak seimbang terhadap perorangan, atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas social. Dalam rangka ini dapat juga kita kemukakan definisi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berbunyi demikian: “Diskrimasi mencakup perilaku apa saja, yang berdasarkan perbedaan yang dibuat berdasarkan alamiah atau pengkategorian masyarakat, yang tidak ada hubungannya dengan kemampuan individu atau jasanya.
Dengan melihat kepada pemetaan masalah di atas (perspektif konstruktivisme) hal ini bisa dilihat dari kebijakan pemerintah yang mengonstruksi streotipe negative bagi etnis tionghoa dimata etnis pribumi sehingga menciptakan kesenjangan dalam bidang ekonomi, pada masa orde baru etnis tionghoa dijadikan sebagai penyebab apabila terjadi kesenjangan social, mereka dijadikan kambing hitam yang membuat ekonomi Indonesia terpuruk.
D. RESPON NEGARA
Selama Orde Baru berjaya dalam 3 dekade lebih, selama itu pula etnis tionghoa banyak mengalami diskriminasi. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya beberapa peraturan yang mengatur eksistensi etnis tionghoa di Indonesia.
  • Pertama, Keputusan Presiden Kabinet No. 127/U/KEP/12/1996 tentang masalah ganti nama.
  • Kedua, Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IV/6/1967 tentang Kebijakan Pokok Penyelesaian Masalah Cina yang wujudnya dibentuk dalam Badan Koordinasi Masalah Cina, yaitu sebuah unit khusus di lingkungan Bakin.
  • Ketiga, Surat Edaran Presidium Kabinet RI No. SE-06/PresKab/6/1967, tentang kebijakan pokok WNI keturunan asing yang mencakup pembinaan WNI keturunan asing melalui proses asimilasi terutama untuk mencegah terjadinya kehidupan eksklusif rasial, serta adanya anjuran supaya WNI keturunan asing yang masih menggunakan nama Cina diganti dengan nama Indonesia.
  • Keempat, Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967 tentang tempat-tempat yang disediakan utuk anak-anak WNA Cina disekolah-sekolah nasional sebanyak 40 % dan setiap kelas jumlah murid WNI harus lebih banyak daripada murid-murid WNA Cina.
  • Kelima, Instruksi Menteri Dalam Negara No. 455.2-360/1968 tentang penataan Kelenteng-kelenteng di Indonesia.
  • Keenam, Surat Edaran Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika No. 02/SE/Ditjen/PP6/K/1988 tentang larangan penerbitan dan pencetakan tulisan/ iklan beraksen dan berbahasa Cina. (Kompas Minggu, 6 Februari 2000: 9)
·         Undang-undang No. 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan. Hal ini adalah satu bentuk respon pemerintah saat itu terhadap keluhan etnis Tionghoa terkait SBKRI. Ini hanya salah satu contoh saja.  Tentu kita ingin sebuah kondisi ideal akan pemerintahan yang responsif terhadap aspirasi seluruh rakyatnya. Bukan hanya etnis, suku ataupun agama tertentu, tapi rakyat secara umum.
Perjalanan etnis tionghoa dalam sejarah bangsa Indonesia, memang perlu dipertanyakan seberapa besar hak dan dimana letak keadilan berbangsa yang diterima oleh etnis tionghoa di Indonesia.

BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Kondisi Indonesia yang majemuk dan memiliki berbagai macam latar belakang etnis yang berbeda memang seringkali dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menciptakan ketegangan antar etnis. Dalam kondisi seperti ini , etnis pribumi dan tionghoa harus lebih pro-aktif dalam menyelesaikan masalah ini. Merupakan tantangan khusus bagi etnik tionghoa bersama komponen bangsa lainnya untuk menjawab persoalan yang dihadapi untuk menyelesaikan masalah kecemburuan etnis ini. Etnis tionghoa sekarang ini berada dalam posisi terbaik untuk lebih aktif terlibat dalam kehidupan, tidak seperti pada masa orde baru yang sangat memojokan mereka.
Kunci utama penyelesaian masalah etnis tionghoa di Indonesia ini adalah peran masyarakat pribumi dan minoritas etnis tionghoa yang lebih seimbang dalam bidang ekonomi, politik dan birokrasi. Aternatif dalam menyatukan etnis di Indonesia dengan mengadakan akomodasi merupakan solusi yang tepat untuk menyatukan bangsa yang besar ini. KH. Abdurahman Wahid mengungkapkan “Sebuah bangsa yang mampu bertenggang rasa terhadap perbedaaan-perbedaaan budaya, agama, dan ideologi adalah bangsa yang besar” untuk mewujudkan integrasi antaretnis di Indonesia dengan mutual of understanding, sehingga semboyan yang mencengkram dalam kaki kuat Burung Garuda bukanlah wacana lagi.

DAFTAR PUSTAKA
http://iccsg.wordpress.com/2006/01/27/etnik-tionghoa-pribumi-indonesia
Benny G. Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, TransMedia, Jakarta 2008