Rabu, 02 Februari 2011

HUKUM INTERNASIONAL DAN NEGARA KEPULAUAN

Konsep Negara Kepulauan
Kondisi geografis indonesia sebagai negara kepulauan yang dipersatukan oleh lautan dengan pancasila sebagai ideologi bangsa telah melahirkan suatu budaya politik persatuan dan kesatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam upaya untuk  mencapai tujuan dan cita-cita nasional bangsa Indonesia dihadapkan dengan  berbagai tantangan yang harus ditanggulangi dimulai dengan menjaga kedaulatan Negara sampai masalah-masalah perbatasan yang timbul seputar pencaplokan wilayah oleh Negara lain sampai pada masalah pemeliharaan wilayah-wilayah sekitar perbatasan termasuk kesejahteraan penduduknya.
Sesuai dengan UNCLOS (United Nation  Convention on the Law Of the Sea) tahun 1982 bahwa Indonesia sebagai Negara kepulauan maka peran pulau terluar menjadi sangat vital, hal ini berkaitan dengan penentuan batas atau luas wilayah suatu Negara. Prinsip Negara kepulauan menganut cara untuk menentukan luas Negara dan perairan teritorialnya.
Berikut adalah dasar pertimbangan pengambilan kebijakan dan strategi penataan ruang pulau-pulau kecil pada kawasan perbatasan republik Indonesia:
  1. Negara Kesatuan Repubik Indonesia (NKRI) merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia, yang memiliki 17.500 pulau yang tersebar di lautan dengan luas 75% dari luas territorial RI.
  2. Berdasarkan Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) 1982, Indonesia memiliki kedaulatan atas wilayah peraiaran seluas 3,2 juta km2 yang terdiri dari perairan kepulauan seluas 2,9 juta km2 dan laut teritorial 0,3 juta km2. Selain itu Indonesia juga mempunyai hak ekslusif untuk memanfaatkan sumber daya kelautan dan berbagai kepentingan terkait wilayah seluas 2,7 km2 pada perairan ZEE (sampai dengan 200 mil garis pangkal).
  3. Menurut pasal 47 Ayat 1 Konvensi Hukum Laut Internasonal (UNCLOS) 1982, Negara kepulauan berhak menarik garis pangkal kepulauan (archipelagic baseline), sebagai dasar pengukuran wilayah perairannya dari titik-titk terluar dari pulau-pulau terluarnya. Hal ini menunjukan nilai strategis pulau-pulau kecil pada kawasan perbatasan sebagai ‘gatekeeper’ wilayah kedaulatan RI.
  4. Kawasan perbatasan sebagai ‘beranda negara’ perlu mendapatkan prioritas penanganan seiring dengan berkembangnya berbagai issu dan permasalahan yang dihadapi.
LAUT LEPAS 


Seperti ungkapan yang mengatakan bahwa gambar mewakili beribu bahasa, maka gambar di atas menjadi gambaran singkat mengenai konsep Negara kepulauan yang sangat menguntungkan terutama bagi Negri kita Indonesia. Sedikit tambahan, Negara masih mempunyai kedaulatan mutlak dimulai dari pulau terluarnya sampai pada laut wilayah, sementara itu untuk zona tambahan dan zona ekonomi eksklusif Negara juga masih memiliki hak untuk berdaulat(dengan melakukan konservasi, penelitian, research, dll).
Maka dapat dibayangkan ketika Indonesia kehilangan sipadan dan ligitan berapa besar kerugian Negara khususnya dalam hal sumber daya alam, berkaitan dengan konsep diatas.

2.  MELIHAT SENGKETA PULAU MIANGAS
          Pulau yang menjadi sengketa ini dahulu adalah sasaran para bajak laut yang datang merebut harta benda dan membawa penduduk pulau ini untuk dijual sebagai budak di Filipina, Pulau Miangas adalah salah satu pulau terluar Indonesia dengan luas wilayah mencapai 3,15km2 termasuk dalam desa Miangas, kecamatan nanusa, KabupatenTalaud, provinsi Sulawesi Utara,  jumlah penduduknya 678 jiwa (data BPS/2003) dengan rata-rata bermata pencaharian sebagai petani kopra dan nelayan. Jarak Pulau Miangas menuju Kecamatan Nanusa adalah sekitar 145 mil, sementara jarak kearah utara atau pantai Mindanau hanya sejauh pandangan mata sekitar 60 mil, pada masa penjajahan Spanyol di Filipina pulau ini dikenal dengan nama Poilaten(lihat pulau di sana) karena banyaknya tumbuhan palm maka berubah nama menjadi Las Palmas
Berdasarkan pernyataan konsulat jendral RI untuk Davao City Filpina, mengenai pernyataan Filipina yang mengklaim bahwa pulau miangas dan pulau manoreh merupakan wilayah Filipina berdasarkan peta spanyol 300 tahun lalu serta memasukan kedua pulau tersebut sebagai daftar dalam peta pariwisata Filipina dengan mengakui bahwa keberadaan pulau tersebut berdasarkan traktat paris tahun 1989.
Sengketa yang terjadi antara Indonesia dan Filipina adalah perairan laut antara pulau miangas (Indonesia) dan pantai Mindanao (Filipina) serta dasar laut antara pulau balut di Filipina dan pantai laut Sulawesi yang jarak keduaanya kurang dari 400 mil. Berdasarkan hasil keputusan pengadilan arbitrasi di Den Haag tahun 1928 Indonesia mendapatkan hak penuh atas kepemilikan P.Miangas.
Pulau ini memiliki sejarah yang panjang karena telah menjadi rebutan antara pemerintah Hindia Belanda dan Amerika, secara geografis penjajah dari amerika menyentuh bagian utara Sulawesi sekitar akhir abad ke 19, baru pada tahun 1819 Pulau Miangas diklaim menjadi jajahannya setelah berhasil menaklukan Spanyol yang telah menjajah Filipina selama lebih dari ratusan tahun, pihak Belanda tidak menyetujui hal tersebut dengan tidak mereservasi secara formal traktat paris 1898 yang berisikan garis-garis demarkasi yang ditetukan setelah Amerika berkuasa atas Filipina termasuk Pulau Miangas atau La Palmas.
Indonesia sebagai jajahan pemerintah Hindia Belanda pada saat itu belum dapat berbuat banyak dalam menanggapi kasus ini, setelah Indonesia merdeka dan berada dalam masa pemerintahan Soekarno, hampir tidak ada pembangunan di daerah itu,  terutama pendidikan yang saat itu lebih banyak dijalankan oleh yayasan pendidikan Kristen (YPK) dan ini merupakan dampak dari pembangunan nasional pada masa lalu, dan bahkan masih berlaku hingga kini.
Meski secara geografis dan berdasarkan traktat paris Filipina mempunyai alasan mengapa pulau ini dimasukan kedalam peta pariwisata, namun secara historis serta adat yang terdapat di pulau tersebut pulau ini termasuk dalam wilayah Indonesia dengan kembali melihat kepada sejarah saat pemerintah kolonial Belanda memenangkan sengketa ini ketika dibawa ke Mahkamah Internasional pada tahun 1928 dan dipertegas kemudian saat penentuan demarkasi antara Amerika dan Belanda, wakil raja Sangihe Talaud, serta tokoh adat Nanusa dihadirkan di Miangas. Dalam pertemuan untuk menentukan pulau itu masuk jajahan Belanda atau Spanyol, salah seorang tokoh adat Petrus Lantaa Liusianda mengucapkan kata-kata adat bahwa Miangas merupakan bagian dari Nanusa. Gugusan Nanusa yang dimulai dari pulau Malo hingga Miangas.
Sengketa ini diselesaikan di arbitrasi internasional DR. Max Huber memenangkan Belanda atas kepemilikan pulau tersebut, diperkuat lagi dengan perundingan antara Amerika Serikat dan Hindi Belanda di atas kapal Greenphil 4 april 1928, memutuskan pulau Miangas masuk ke wilayah kekuasaan Hindia Belanda karena persamaan budaya dengan masyarakat Talaud. Semakin dipertegas dengan diresmikannya tugu perbatasan anatara Indonesia dan Filipina di tahun 1955, dimana Miangas berada di wilayah Indonesia, serta pernyataan Menlu Filipina Blas F.Ople, menyatakan Miangas sah milik Indonesia di tahun 2002.

1.      Perspektif Hukum Internasional
Berdasar atas latar belakang masalah atau sengketa yang terjadi yang menjadi subjek hukum dalam sengketa ini adalah Negara, terbagi dalam dua masa, yaitu masa kolonialisasi subjeknya adalah Amerika dan Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda dan masa sekarang antara Indonesia dan Filipina, menunjukan bahwa terdapat pula dua karakteristik (sistem hukum internasional) yang berlaku masih tradisional dengan Negara sebagai subjek hukum, dan Modern dikatakan demikian dengan melihat kembali ke alur sejarah maka sengketa berawal dari masa kolonialisme dimana traktat (perjanjian antar Negara) sebagai salah satu point yang membentuk krakteristik sistem hukum internasional dan juga waktu kejadian yang menunjukan kejadian tersebut sudah ada sejak akhir abad ke-19, dikatakan modern karena munculnya pemikiran-pemikiran baru yang menyatakan bahwa perlu adanya delimitasi antara dua negara yang bersengketa sehingga tidak akan memperpanjang lagi sengketa yang ada.
 Sengketa ini melibatkan beberapa Negara sekaligus antara lain ialah pada masa kolonialisme antara Amerika dan Hindia-Belanda serta berlanjut antara Indonesia dan Filipina, Wilayah yang menjadi perebutan sebenarnya adalah wilayah perairan air antara pulau miangas dan  garis pantai Mindanao dan dasar laut antara pulau balut di Filipina dan pantai laut Sulawesi yang jarak keduaanya kurang dari 400 mil (objek permasalahan), dalam hal ini kepemilikan atas pulau miangas akan menentukan siapa yang berhak atas wilayah perairan yang ada disekitar pulau tersebut.
Kejadian yang berawal pada masa kolonialisme hindia belanda di Indonesia serta penjajahan yang dilakukan amerika terhadap Filipina akan menjadi jawaban kapan sengketa ini terjadi, dengan traktat paris tahun 1898 yang menjadi sengketa antara pemerintah kolonial hindia-belanda dan amerika terkait garis-garis demarkasi penjajahan amerika terhadap Filipina yang didalamnya termasuk pulau palmas (miangas). Berdasarkan atas traktat paris 1898 tersebut, Filipina beranggapan bahwa miangas termasuk kedalam wilayah teritorialnya dengan pernyataan Filipina dengan memasukan pulau miangas kedalam peta pariwisata Filipina.
2.      Tinjauan Konsep Negara Kepulauan
Indonesia sangat beruntung terkait dengan sejarah masyarakat yang hidup di P.Miangas, karena jika seandainya Indonesia tidak memiliki keterkaitan dengan sejarah masyarakat pulau miangas itu akan mejadikan Filipina dengan mudah menjadikan miangas sebagai pulau terluarnya.
Letak pulau yang menjadi sengketa ini berada hanya sejauh mata memandang jika terlihat dari pantai mindanau Filipina, sementara keadaan sebaliknya jarak pulau ini begitu jauh, jarak antara Miangas dan Bitung sejauh 276 mil selama 22 jam perjalanan, sedangkan jika menuju ke ibukota Kabupaten Talaud jaraknya mencapai 117 mil dengan lama playaran sekitar 10 jam. Sebaliknya jarak dari Miangas ke Santa Agustine atau General Santos di Filipina hanya 60 mil dan dapat ditempuh selama 4 jam perjalanan.
Dengan gambaran singkat di atas Filipina mempunyai akses lebih terhadap pulau Miangas, jika Filipina menarik titik ukur sejauh 200 mil dari garis pantai Mindanao maka P.Miangas sudah termasuk kedalam wilayah kedaulatannya.
Indonesia sedemikian beruntungnya dengan konsep Negara kepulauan, sudah seharusnya membangun wilayah perairannya dengan sungguh-sungguh.

Dengan sistem hukum internasional yang semakin modern serta mengacu pada prinsip-prinsip Negara demokrasi dimana Negara demokrasi tidak dan tidak akan saling berperang terhadap Negara demokrasi lainnya, maka penulis menekankan penyelesaian masalah perbatasan laut dengan menggunakan prinsip delimitasi yaitu dengan mengesampingkan faktor-faktor yang hanya akan memperpanjang sengketa dengan cara paling adil dan seadil-adilnya.
Struktur system politik internasional yang anarki memang tidak bisa menghindarkan Negara dari situasi yang konfliktual, Indonesia harus memperkuat kekuatan militer khusunya angkatan laut guna menjaga wilayah perairan laut yang dimilikinya.

SUMBER:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar