Sabtu, 13 Oktober 2012

SUAKA DAN EKSTRADISI


SUAKA
ž  MENURUT PENGERTIAN HUKUM INTERNASIONAL, DALAM PENGERTIAN SUAKA (AZYLUM) TERDAPAT 2 KUALIFIKASI YAITU BERUPA (a) TEMPAT BERNAUNGNYA SESEORANG ATAU SEKELOMPOK ORANG YANG SIFATNYA LEBIH PERMANEN DIBANDING DENGAN TEMPAT PENGUNGSIAN SEMENTARA (PENAMPUNGAN); DAN (b) PERLINDUNGAN YANG DIBERIKAN TERSEBUT DILAKUKAN SECARA AKTIF OLEH PENGUASA-PENGUASA NEGARA YANG BERSANGKUTAN.
ž  BERPIJAK PADA BATASAN PENGERTIAN TERSEBUT BERARTI SUAKA ADALAH PERLINDUNGAN YANG DIBERIKAN OLEH PENGUASA NEGARA DI WILAYAH NEGARANYA KARENA ORANG/SEKELOMPOK ORANG TERSEBUT TERANCAM KESELAMATANNYA.

KAIDAH POKOK YANG BERKAITAN DENGAN SUAKA
ž  ORANG ASING YANG DITAHAN DALAM KAPAL ASING YANG ADA DI PERAIRAN SUATU NEGARA TIDAK BOLEH DIBERI SUAKA OLEH NEGARA SETEMPAT
ž  ORANG PELARIAN TIDAK MEMILIKI HAK SUAKA DAN YANG BERHAK MEMBERI SUAKA PADANYA ADALAH NEGARA TEMPAT MEREKA MENGUNGSI.
SUAKA TIDAK AKAN DIBERIKAN OLEH NEGARA MANAPUN PADA PENJAHAT PERANG, PENJAHAT PERDAMAIAN DAN PENJAHAT KEMANUSIAAN.
STANDARISASI DALAM MEMBERIKAN SUAKA
ž  MAJELIS UMUM PBB PADA TANGGAL 14 DESEMBER 1967 MEMBERIKAN REKOMENDASI MENGENAI STANDARISASI DALAM MEMBERIKAN SUAKA, YAITU :
  1. SESEORANG YANG MENCARI SUAKA DARI PENGANIAYAAN TIDAK BOLEH DITOLAK DI PERBATASAN, APABILA ORANG TERSEBUT TERLANJUR MEMASUKI WILAYAH TERITORIAL NEGARA MAKA NEGARA TERSEBUT TIDAK BOLEH MENDEPORTASI SECARA PAKSA. ANDAI PENOLAKKAN SUAKA DIDASARKAN PADA PERTIMBANGAN KEAMANAN DALAM NEGERI MISALNYA PADA KASUS PENGUNGSIAN MASSAL MAKA NEGARA BOLEH MENOLAK NAMUN NEGARA HARUS MEMBERI KESEMPATAN KEPADA PENCARI SUAKA UNTUK MENCARI SUAKA DI NEGARA LAIN, MINIMAL DILAKUKAN DENGAN MEMBERIKAN PERLINDUNGAN SEMENTARA SEBELUM MENDAPAT TEMPAT LAIN.
  2. APABILA SUATU NEGARA MENGHADAPI KESULITAN DALAM MEMBERIKAN SUAKA ATAU MENERUSKAN PEMBERIAN SUAKA MAKA NEGARA LAIN BAIK SENDIRI-SENDIRI MAUPUN KOLEKTIF (MELALUI PBB) HARUS IKUT MEMPERHITUNGKAN/MENCARIKAN ALTERNATIF PEMECAHAN DEMI RINGANNYA BEBAN NEGARA TERSEBUT BERDASAR PERTIMBANGAN SOLIDARITAS SOSIAL.
  3. SUAKA YANG DIBERIKAN PADA ORANG-ORANG YANG MENCARI TEMPAT MENGUNGSI DAN PENGANIAYAAN HARUS DIHORMATI OLEH SEMUA NEGARA.

SECARA TEORETIS DIKENAL 2 MACAM SUAKA, YAITU :
1.       SUAKA TERITORIAL, ADALAH SUAKA YANG DIBERIKAN DI WILAYAH NEGARA PEMBERI SUAKA. SUAKA INI MERUPAKAN PERLINDUNGAN YANG DIBERIKAN OLEH SUATU NEGARA PADA WARGA NEGARA/BEBERAPA WARGA NEGARA ASING DI WILAYAH TERITORIALNYA.
2.       SUAKA EKSTRA-TERITORIAL ADALAH SUAKA YANG DIBERIKAN DI LUAR WILAYAH NEGARA PEMBERI SUAKA, TETAPI TEMPAT-TEMPAT TERSEBUT DAPAT DISAMAKAN STATUSNYA DENGAN WILAYAH NEGARA PEMBERI SUAKA, MISALNYA PEMBERIAN SUAKA DI KANTOR DIPLOMATIK NEGARA PEMBERI SUAKA YANG BERKEDUDUKAN DI LUAR NEGERI, PADA KAPAL PERANG NEGARA PEMBERI SUAKA YANG POSISINYA DI LUAR TERITORIAL NEGARA PEMBERI SUAKA.

CONTOH:
ž  PERISTIWA TANGGAL 24 NOVEMBER 1994
                PADA SAAT ITU TERDAPAT 29 PEMUDA TIMOR TIMUR YANG SENGAJA MELAKUKAN UNJUK RASA DAN MELOMPAT MASUK KE GEDUNG KEDUTAAN BESAR AS DI JAKARTA. PERISTIWA TERSEBUT TERJADI MENJELANG DILAKSANAKANNYA PERTEMUAN APEC DI BOGOR YANG DIRENCANAKAN BERLANGSUNG TANGGAL 15 NOVEMBER 1995. PARA PENGUNJUK RASA BERMAKSUD MENEMUI WAREN CHRISTOPHER (MENLU AS) ATAU BILL CLINTON (PRESIDEN AS) UNTUK MENUNTUT PEMBEBASAN XANANA GUSMAO YANG TELAH DIJATUHI PIDANA SELAMA 20 TAHUN. AS MENERIMA MEREKA DAN DALAM 10 HARI, PARA PENGUNJUK RASA MEMPEROLEH SUAKA DARI PORTUGAL DAN DITERIMA OLEH PORTUGAL SEBAGAI IMIGRAN. AS DAN ICRC MENYIAPKAN DOKUMEN KEBERANGKATAN PARA PENGUNJUK RASA.

EKSTRADISI
ž  EKSTRADISI ADALAH PENYERAHAN RESMI YANG DILAKUKAN OLEH PENGUASA SUATU NEGARA PADA PENGUASA NEGARA PEMOHON EKSTRADISI ATAS SESEORANG ATAU SEKELOMPOK ORANG YANG DIDAKWA MELAKUKAN PELANGGARAN HUKUM DI NEGARA PEMOHON ATAU DI WILAYAH NEGARA KE-3.
ž  ORANG YANG MELAKUKAN EKSTRADISI BIASANYA MELAKUKAN KEJAHATAN DI NEGARANYA SENDIRI ATAU NEGARA LAIN, TETAPI SETELAH MELAKUKAN TINDAK PIDANA LARI KE NEGARA KETIGA YANG BUKAN MERUPAKAN TEMPAT KEJAHATAN, ATAU MUNGKIN JUGA SESEORANG MELAKUKAN KEJAHATAN DI NEGARA ASING KEMUDIAN LARI KE NEGARANYA SENDIRI.
ž  EKSTRADISI BIASANYA DILAKSANAKAN BERDASARKAN ASAS TMBAL BALIK (RESIPROSITY), ATAU DIDASARI OLEH PERJANJIAN KHUSUS ANTARA DUA NEGARA TENTANG EKSTRADISI.
ž  JIKA KEDUA NEGARA TIDAK MEMILIKI PERJANJIAN EKSTRADISI MAKA PEMBERIAN EKSTRADISI SEMATA-MATA DAPAT DIDASARKAN PADA ASAS SUKARELA DENGA TUJUAN AGAR PELAKU TINDAK PIDANA TIDAK LUPUT DARI PIDANA.
ž  B. SEN MEMBERIKAN KLASIFIKASI SECARA UMUM MENGENAI BERBAGAI MACAM KEJAHATAN YANG MUNGKIN DIEKSTRADISI YAITU PEMBUNUHAN BERENCANA ATAU TAK BERENCANA, PENYERANGAN, PENJUALAN WANITA (BISNIS SEX), PENCULIKAN ANAK, PENYANDERAAN, KEJAHATAN, PENGANIAYAAN, PEMERASAN, SUMPAH PALSU, PEMBAKARAN RUMAH DLL.

POLA INTERAKSI NEGARA



  • Sebuah kebijakan yang ditujukan untuk memperluas kontrol secara langsung dan permanen di sebuah wilayah tambahan. Contoh: politik imperialisme Jerman pada Perang Dunia I dan II.
  • Sebuah kondisi di mana sebuah negara mendominasi dengan cara memerintah wilayah-wilayah yang tetap mempertahankan identitas aslinya. Contoh: Kuwait di bawah pemerintahan Inggris, koloni-koloni Inggris di Afrika, India, Belanda di Indonesia, penaklukan bangsa Indian oleh bangsa Barat, dsb.

Hubungan Yang Tidak Setara (realtions of inequality)

Berdasarkan pada kenyataan bahwa tidak setiap unit dalam sistem internasional (dalam hal ini negara) dapat mempertahankan otonominya. Negara-negara lemah menanggung beban keinginan negara-negara kuat.

Bentuk-bentuk hubungan yang tidak setara:

Dominasi: bentuk yang paling ekstrim dari dominasi adalah intervensi militer (force, kekerasan). Dominasi tidak selalu dilakukan melalui kekerasan, contohnya adalah dominasi AS terhadap Amerika Tengah dan Western Hemisphere yang dilakukan melalui cara-cara diplomatik, penguasaan ekonomi, kultural, informasi, latihan militer, hingga aktivitas-aktivitas tersembunyi (clandestine).

Imperialisme: yaitu dominasi atau kontrol atas sebuah bangsa atau masyarakat oleh bangsa atau masyarakat lain. Imperialisme memiliki dua pengertian esensial, yaitu:
Clientelisme: Sebuah hubungan patron-client, yaitu suatu hubungan yang terjadi ketika sebuah major power dan sekutu yang lebih lemah membentuk suatu partnership yang ditujukan untuk melayani kepentingan mereka, namun secara jelas masing-masing kepentingan itu berbeda. Contoh: AS-Israel, Soviet-Kuba.

Compliance (kerelaan/kepatuhan): Clientelism berlangsung dalam jangka waktu yang relatif lama, sedangkan kadang terjadi hubungan jangka pendek di mana major power mendesak kepatuhan (compliance) dari negara yang lebih kecil atau dari kelompok entitas tertentu. Contoh: ketika AS menginvasi Granada, beberapa negara di Karibia menyerahkan compliance/kepatuhan, misalnya dengan mengizinkan pasukan AS melintasi negaranya, mendirikan pangkalan militer, bahkan berkontribusi dengan mengirimkan satuan kepolisian. Compliance dapat dipaksa dengan menggunakan instrumen kekerasan.


Hubungan Yang Setara (relations of equality)

Balance of power
Concert of Power: sebuah kerja sama di antara negara-negara berkekuatan besar (great powers) untuk menempatkan suatu sistem dominasi sesuai dengan apa yang mereka sepakati. Bentuk interaksi ini jarang terjadi. Contohnya adalah Concert of Europe yang terbentuk pasca-Perang Napoleon dan Kongres Wina (1814-1815) dengan anggota Inggris, Rusia, Prusia, Austro-Hungaria (Quadruple Alliance) dann Prancis dalam posisi konsultasi. Di antara mereka diadakan kesepakatan-kesepakatan, di antaranya pengakuan the divine rights of King dan konferensi untuk menyelesaikan perselisihan atau pertentangan. Concert cenderung tidak bertahan lama. Sering dikatakan sebagai cikal bakal Dewan Keamanan PBB (anggota tetapnya).

Accomodation (Akomodasi)
Pola akomodasi biasanya melibatkan kekuatan-kekuatan yang setara di mana mereka membuat susunan rencana sedemikian rupa hingga mereka dapat bersaing tanpa harus berperang dengan satu sama lain. Pola ini ditunjukkan antara lain dalam Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet, khususnya dalam periode détente (Nixon 1969, Brezhnev: Peaceful coexistence). Kedua pihak berusaha mencapai persetujuan yang dapat menyelesaikan sejumlah perbedaan di antara mereka, juga membentuk rules of engagement untuk mengurangi kemungkinan terjadinya clash atau benturan secara langsung. 

FUNGSI DAN CARA MENCIPTAKAN PERIMBANGAN KEKUATAN


Asumsi: bangsa-bangsa selalu mengejar kepentingan yang didefinisikan sebagai power (struggle for power) di dalam suatu sistem internasional yang anarkis sehingga harus selalu waspada terhadap ancaman dunia dengan mendasarkan pada kekuatan sendiri (self-help).

Fungsi perimbangan kekuatan:
  • Mempertahankan eksistensi, otonomi, pengejaran kepentingan: negara-negara akan berusaha agar tidak jatuh dalam dominasi negara/bangsa lain
  • Mencegah munculnya negara atau koalisi negara yang jauh labih besar

Dalam perimbangan kekuatan, terdapat konsep balancer atau penyeimbang (dulu dilakukan oleh Inggris). Jika terdapat tanda-tanda dominasi harus segera menciptakan perimbangan kekuatan, misalnya dengan cara:
  1. Aliansi
  2. Masing-masing meningkatkan persenjataan (kekuatan)
  3. Konsensi, yaitu berjanji memberikan imbalan dengan harapan pihak lawan tidak melakukan sesuatu yang mengancam
  4. Kompensasi, yaitu memberikan ganti rugi
  5. Kebijakan memecah belah (divide and rule), yaitu mengisolasi negara yang memiliki potensi bahaya untuk melemahkannya.

Terdapat dua jenis negara dalam perimbangan kekuatan, ditambahkan satu oleh Morgenthau sehingga menjadi tiga, yaitu:
  1. Negara yang berusaha mengubah perimbangan yang ada (revisionis)
  2. Negara yang  berusaha mempertahankannya (status quo)
  3. Balancer, yaitu negara yang memiliki kemampuan untuk berpindah dukungan di antara negara-negara yang saling bertentangan. Keberpihakannya menentukan hasil akhir perimbangan kekuatan. Biasanya balancer berpihak ke negara atau koalisi negara yang lebih lemah.

Menurut Morgenthau, perimbanga kekuatan klasik tidak lagi relevan pada masa pasca-Perang Dingin, karena:

  1. Sistem perimbangan kekuatan tidak akan berjalan jika terdiri dari satu raksasa (negara besar) dan kumpulan orang-orang cebol (negara-negara kecil atau negara besar yang telah terpecah-pecah).
  2. Bangsa-bangsa sudah tidak dapat berpindah aliansi karena Uni Soviet sudah tidak ada.
  3. Saat ini negara-negara tidak siap berperang karena ancaman daya hancur yang luar biasa dari senjata nuklir, yang dapat menghancurkan diri sendiri.
  4. Tidak ada balancer lagi
  5. Karena adanya nasionalisme, perang menjadi tidak terbatas
  6. Pada saat ini, perang bukanlah salah satu cara penyelesaian konflik dan tidak lagi diterima sebagai salah satu mekanisme untuk mempertahankan perimbangan kekuatan sebagaimana halnya dulu.

Pada masa Morgenthau, aliansi bersifat kaku karena bersifat ideologis. Ideologi mengacaukan perhitungan rasional sehingga persekutuan tidak luwes. Pada masa sekarang, yang penting bukan ideologi karena terdapat kesalingtergantungan, misalnya dalam bidang ekonomi, lingkungan hidup, dll. Namun, power tetap menjadi perhitungan utama dan mendasar.

Sifat politik luar negeri adalah tidak pasti sehingga negara dapat melakukan salah perhitungan.

Perimbangan kekuatan Kaplan dalam kaitannya dengan sistem internasional:

  1. Sistem perimbangan kekuatan: harus ada minimal lima aktor nagara esensial dan tidak ada pemerintahan. Karena dengan sifat yang anarkis, negara akan dapat mengatur diri sendiri sedemikan rupa.
  2. Sistem bipolar longgar: ada dua blok besar, beberapa negara nonblok, dan beberapa aktor universal (misalnya PBB)
  3. Sistem bipolar ketat: hanya ada dua blok besar negara adidaya dan negara-negara di dunia hanya masih ke dua blok tersebut.
  4. Sistem internasional universal: terdapat pemerintahan dunia yang bersifat federalis, namun keputusan yang penting tetap berada di tangan pemerintahan nasional (negara)
  5. Sistem internasional hirarkis: tidak ada lagi pemerintahan nasional, kalaupun ada tunduk sepenuhnya pada pemerintahan atau wewenang internasional
  6. Sistem veto-unit: setiap anggota memiliki senjata untuk menghancurkan negara lain melalui hak vetonya (misal dalam DK PBB)

Nomor 1, 2,3, dan 6 menurut Kaplan adalah sistem dunia Hobbesian.

Menurut Kenneth Waltz dan Modelsky, sistem internasional pada saat ini masih bipolar dengan menekankan pada kekuatan militer dan ekonomi. Diukur dari kepemilikan senjata nuklir yang terletak pada dua negara adidaya, yang jumlahnya melebihi gabungan senjata nuklir seluruh negara di dunia, juga dari porsi pembelanjaan militernya.

Menurut Deutsch, dan David Singer, dunia mengarah pada multipolarisme karena adanya berbagai pusat kekuatan (militer, ekonomi) di mana mereka mampu menerapkan srategi deterrance sehingga dapat kembali kepada perimbangan kekuatan klasik. 

Konsep Power


KONSEP POWER
Power, Yaitu kemampuan yang dimiliki oleh suatu pihak untuk mengontrol pikiran dan tindakan-tindakan pihak lain agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan/kepentingannya.

Elements of power, Terdiri dari: (a) elemen tampak, seperti wilayah/geografi, jumlah penduduk, sumber daya alam, kekuatan militer, dsb, dan (b) tidak tampak, seperti sistem ekonomi, sistem pendidikan, sistem sosial, karakter nasional, kepemimpinan, ahli strategi militer, dsb.

3 Tipe Politik Internasional


TIPE POLITIK INTERNASIONAL

Tiga tipe politik internasional

  1. Politik status quo
  2. Politik imperialisme
  3. Politik prestise

Politik status quo

  1. Politik yang mengarah pada mempertahankan power saja
  2. Biasanya dilakukan untuk mempertahankan power setelah perang, di mana dilakukan perjanjian-perjanjian untuk membagi kekuasaan baru di antara yang menang dan yang kalah perang
  3. Dimanifestasikan dalam perjanjian-perjanjian perdamaian (Paris Treaty, Holly Alliance, Versailles Treaty, Concert of Europe, dll) dan organisasi internasional yang menyokongnya (LBB, PBB), dan distribusi power baru.
  4. Selalu menampakkan dua pola: menghormati pihak lain dan menuntut penghormatan pihak lain atas integritasnya sendiri

Politik Imperialisme

  1. Politik yang mengarah pada keinginan untuk mencapai lebih banyak power dengan menjungkirkan kristalisasi power yang telah ada
  2. Imperialistis: tindakan suatu negara yang dianggap menentang politik luar negerinya sendiri
  3. Tiga konsepsi keliru mengenai imperialisme: (a) tidak semua politik luar negeri yang berusaha meningkatkan power berarti imperialisme, anggapan tersebut datang dari pihak-pihak yang memiliki fobia dan mewarisi filsafat politik abad ke-19 yang menganggap setiap upaya peningkatan power adalah jahat; (b) tidak semua politik luar negeri yang berusaha mempertahankan empire yang ada merupakan imperialisme, melainkan hanya konsolidasi misalnya Inggris Raya; dan (c) penyatuan dalam usaha bersama dalam bidang ekonomi sering dianggap sebagai imperialisme dan mengaburkan makna murninya.
  4. Tiga teori ekonomi tentang imperialisme: (a) Marxis: imperialisme terjadi akibat kapitalisme, di mana masyarakat kapitalis cenderung memperbudak negara-negara nonkapitalis atau bahkan negara kapitalis lainnya untuk memasarkan hasil produksi mereka serta untuk mendapatkan bahan baku; (b) Liberal: imperialisme hanyalah salah satu akibat dari kapitalisme, yaitu akibat produksi yang berlebihan dan kebutuhan akan pasar, perbedaannya adalah, teori ini memiliki alternatif memperluas pasar domestik untuk mengatasi surplus produksi; dan (c) Teori Setan: ada kelompok-kelompok yang diuntungkan dengan adanya perang sehingga mereka menghendaki perang untuk memperkaya diri sendiri.
  5. Tiga pendorong imperialisme: (a) menang perang, (b) kalah perang, dan (c) kelemahan
  6. Tiga tujuan imperialisme: (a) world empire, (b) contingental empire, dan (c) local preponderance
  7. Tiga metode imperialisme: (a0 imperialisme militer, (b) imperialisme ekonomi, dan (c) imperialisme kebudayaan)b

·         Adalah fatal untuk mengimbangi desain imperialistis dengan tindakan-tindakan yang layak diambil untuk menghadapi politik status quo, begitu pula sebaliknya.
·         Untuk menghadapi status quo: take and give, politik perimbangan atau kompromi
·         Untuk menghadapi politik imperialisme: minimal politik pembatasan (containment), pre-emptive?

Politik prestise

1.       Politik yang mengarah pada memperagakan power yang dimilikinya, baik dengan maksud mempertahankan atau memperoleh power yang lebih banyak
2.       Dapat dilakukan dengan dua cara: (a) upacara diplomatik dalam arti luas, dan (b) memperagakan  kekuatan militer
3.       Makna terakhir dari politik prestise: (a) mencegah perang, dan (b) persiapan untuk perang jika (a) gagal

just share : Sustainable Brain Drain


SUSTAINABLE BRAIN DRAIN (migrasi intelektual)
. Brain-drain dimaknai sebagai pola aliran perpindahan searah terhadap orang-orang terdidik dan memiliki keahlian yang tinggi dari Negara asalnya ke Negara lain untuk mencari pekerjaan, penghasilan, atau kehidupan yang lebih baik.[1]
KEKURANGAN
Hal inilah yang kemudian menjadi suatu ketakutan tersendiri bagi negara asal brain drain, mereka yang dikirim dalam rangka brain-drain ke luar negeri akan menjadi sangat terdidik, atau bahkan mencoba bekerja di sana. Namun hal itu, justru menjadi ketakutan dari pemerintah karena jika banyak tenaga kerja ataupun pelajar yang keluar negeri (dan tidak berniat pulang) maka sumber daya pembangunan di negaranya sendiri akan berkurang dan bahkan tidak ada sama sekali. 
KELEBIHAN
Bagaimanapun juga, brain-drain juga telah memberikan kontribusi bagi negara asalnya dengan adanya devisa yang berasal dari para tenaga kerja ahli yang sengaja mengirimkan uangnya ke keluarga di negara asalnya. Ketika para ekspatriat pada umumnya menggunakan pembayaran tersebut untuk mendukung keluarga mereka sendiri yang ada di sana, menghasilkan keuntungan ekonomi yang luas meliputi hal-hal yang spesifik. Pengiriman uang, sebagaimana ditemukan oleh Bank Dunia, membantu mengurangi kemiskinan dan menyetarakan pendapatan. Bahkan, tingginya angka migrasi telah mengurangi biaya perjalanan lintas negara dan memungkinkan bagi pekerja yang kurang terdidik dan orang-orang yang kurang mampu untuk mencari kesempatan perekonomian di luar negeri – yang tidak hanya menyetarakan kesuksesan dan kesempatan ekonomi tetapi juga membantu untuk meniadakan efek ketidakseimbangan dari brain drain.
Hal yang mengakibatkan terjadi brain drain tenaga ahli Indonesia, antara lain :
·         tersedianya fasilitas pendidikan, teknologi dan penelitian yang lebih memadai di luar negeri
·         kesempatan memperoleh pekerjaan  yang lebih luas
·         tradisi keilmuan dan tradisi yang tinggi (etos kerja yang lebih menantang)

FAKTOR PENDORONG
 Pertama, konsep migrasi internasional mengandung makna pergerakan manusia yang melewati batas-batas negara (internasional). Dari konsep ini ada beberapa elemen penting yang perlu dicermati. Pertama, konsep negara bangsa (nation state). fungsi negara yang membuat aturan tentang lalu lintas manusia yang melewati batas negaranya. Peraturan itu diimplementasikan dalam hukum keimigrasian dan hukum kewarganegaraan.

Kedua, manusia yang melakukan perjalanan lintas negara.
Ketiga, mencari kehidupan yang lebih baik.
Dampak Brain Drain
Dampak Negatif
Mengenai diaspora manusia terdidik Indonesia, berbagai data menunjukkan migrasi pekerja terampil (skilled workers) dari Indonesia ke negara-negara lain cenderung meningkat sejak dekade 1990-an. Meskipun angka brain drain disebutkan hanya sekitar 5 persen, angka itu sangat berarti bagi Indonesia yang pemerintahnya sampai sekarang baru mampu menyisihkan 7-9 persen dari produk domestik bruto untuk anggaran pendidikan.

Artinya, apa yang sudah diinvestasikan dengan mahal oleh masyarakat atau bangsa ini, yang menikmati akhirnya justru negara lain, terutama negara-negara maju yang mampu menawarkan peluang, tantangan, atau jaminan kesejahteraan yang lebih baik dibandingkan dengan Indonesia.
Dampak Positif
Fenomena “Brain Drain” ini mengandung suatu sisi positif sebagaimana yang diajukan oleh Maurice Schiff. Sisi positif tersebut adalah bahwa “Brain Drain” dapat memicu “Brain Gain” (kebalikan dari “Brain Drain”) di dalam negeri. Dalam pandangannya, “Brain Drain” akan menimbulkan persepsi di kalangan calon tenaga kerja bahwa untuk bisa mendapatkan pekerjaan di negara maju (dan mendapat gaji besar), mereka harus memiliki basis pengetahuan yang tinggi.

Hal ini akan menimbulkan besarnya tuntutan terhadap institusi pendidikan yang bisa memberikan pengetahuan yang berkualitas. Di bawah hukum kapitalisme pasar, institusi-institusi pendidikan tersebut akan berlomba-lomba (baca: berkompetisi) memperbaiki kualitasnya, baik dalam hal substansi maupun fasilitas. Hasilnya, kualitas pendidikan di dalam negeri pun bisa senantiasa meningkat.[2]

Mengubah Brain Drain menjadi Brain Gain

Salah satu negara yang berhasil mengubah brain darin menjadi sebuah keuntungan negaranya adalah India. Di India, bahkan short-term returnees pun luar biasa berperan pada kemajuan yang dicapai India di bidang ekonomi dan iptek dewasa ini. Di India ada yang disebut program Transfer of Knowledge Through Expatriate Nationals (TOKTEN), yang terbukti mampu menjadi jembatan ampuh transfer teknologi dari negara-negara maju ke India sehingga India dewasa ini semakin dikenal sebagai gudangnya ahli IT dan tenaga profesional dunia.

Mereka bukan hanya membawa transfer teknologi dan pengetahuan, tetapi juga budaya kerja yang efisien dan kompetitif yang membuat negara-negara maju selama ini mampu tampil unggul dalam kancah percaturan dunia.

KESIMPULAN

Fenomena brain drain yang merugikan negara berkembang hanya bisa dibalikkan jika para technical experts itu mau kembali ke negara asal, dengan membawa serta pengetahuan dan teknologi baru yang mereka dapat selama mereka hidup di luar negeri.Dengan begitu, akan terjadi transfer pengetahuan dan teknologi seperti diharapkan. Ini penting karena pada era globalisasi, siapa yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, dia yang akan mendapatkan pangsa pasar.

Hanya saja diakui, dampak positif transfer teknologi melalui migrasi biasanya baru bisa dirasakan jika kepulangan para migran itu terjadi dalam jumlah besar, seperti di India. Kepulangan itu sifatnya bisa permanen (permanent returnees), tetapi bisa juga hanya untuk jangka pendek (short-term returnees)

Untuk merangsang para diaspora secara suka rela pulang atau ikut berpartisipasi dalam membangun negeri asalnya, pemerintah harus agresif, seperti di India. Kuncinya di sini adalah bagaimana menjaga agar diaspora India di berbagai negara tetap memiliki ikatan kuat dengan keluarga, masyarakat, atau negara asalnya. Ini seharusnya juga bisa dilakukan Indonesia[3]

Peran Pemerintah
Oleh karenanya, pemerintah tidak seharusnya tinggal diam sambil menyaksikan perlombaan (baca: kompetisi) di antara institusi pendidikan ini, melainkan turut aktif memantau dan menciptakan kondisi yang bagus untuk persaingan ini. Partisipasi aktif tersebut bisa dengan memberikan penghargaan-penghargaan kenegaraan bagi institusi pendidikan yang mampu menorehkan prestasi; bisa juga dengan mengadakan kontak kerja sama dengan negara-negara maju di bidang pendidikan. Untuk menjaga keseimbangan antara institusi pendidikan bonafide dengan yang “biasa saja”, pemerintah dapat menjembataninya dengan memberikan subsidi.
Di sisi lain, pemerintah juga harus terlibat secara moril. Akan mubazir apabila setelah tenaga kerja memiliki cukup bekal pengetahuan, akhirnya mereka “lari” ke negara maju karena permasalahan-permasalahan sosial-politik. Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah, pemerintah harus mampu meningkatkan kadar nasionalisme lewat komunikasi politik. Bagaimanapun juga hal ini, walaupun terkesan utopis, telah menjadi faktor signifikan yang mendasari diaspora India dan Taiwan untuk bersumbangsih pada negaranya.[4]






Peace Studies Paper


Realisme
Demokrasi dan pasar bebas merupakan buah dari pemikiran liberal dalam mengupayakan sebuah jalan menuju terciptanya perdamaian abadi (perpetual peace), Imanuel Kant dalam pemikirannya menyebutkan bahwa perdamaian merupakan sesuatu yang tidak alami melainkan sesuatu yang di usahakan melalui usaha manusia, Ia juga optimis akan perdamaian abadi karena manusia memiliki akal sehat (reason) untuk memikirkan berbagai hal dalam mencapai perdamaian abadi seperti yang telah disebutkan di atas yaitu demokratitasi negara-negara di dunia dan pasar bebas.
Immanuel kant, melalui pengamatannya berargument bahwa negara demokrasi tidak berperang dengan negara demokrasi lainnya yang didasarkan atas elemen penting yang secara sistematis telah dijelaskan oleh Michael Doyle (1983;1986). Pertama adalah keberadaan dari negara-negara demokrasi liberal semata yang budaya politik domestiknya berdasarkan pada penyelesaian konflik secara damai.
Negara demokrasi mendukung hubungan internasional yang damai sebab pemerintahan yang demokratis dkendalikan oleh warga negaranya, yang tidak akan menyarankan atau mendukung peperangan dengan negara demokrasi lainnya. Elemen kedua adalah bahwa negara-negara demokrasi memegang nilai-nilai moral bersama yang mengarah pada pembentukan apa yang disebut oleh Kant “persatuan yang damai”. Akhirnya, perdamaian di antara negara-negara demokrasi diperkuat melalui kerjasama ekonomi dan saling ketergantungan (interdependensi), termasuk di dalamnya keuntungan bersama dan timbal balik bagi mereka yang terlibat dalam perdagangan dan kerjasama ekonomi internasional. (Rober Jackson dan George Sorensen 2005: 159-161)
Penjelasan di atas merupakan sedikit dari pemikiran kaum Liberal, marilah kita alihkan pikiran kita menuju pada hal-hal faktual yang sedang terjadi di dunia internasional saat ini apakah sudah berjalan sesuai dengan argument kaum liberal? khusunya pemikiran Imanuel Kant menyangkut akal sehat manusia (reason) dan demokrasi.
Berikut adalah sebagai bahan perbandingan yang berdasar atas filosofi tak terbantahkan dari kaum Realis. (Thucydides, Machiavelli, Hobbes).
  1. Sifat Manusia dan Akal Sehat
Berbicara mengenai demokrasi adalah berbicara mengenai kebebasan individu dalam berbagai hal, termasuk di dalamnya adalah perdagangan bebas yang saat ini sedang terjadi dalam negara-negara modern.
Manusia dan akal sehatnya sama sekali tidak dapat menciptakan kedamaian karena dalam pemikiran Realis manusia atau individu dicirikan sebagai makhluk yang selalu cemas akan keselamatan dirinya dalam hubungannya dengan yang lain, ingin mengendalikan segala sesuatu, tidak ingin diambil keuntungannya dan secara terus menerus berjuang untuk mendapatkan ‘yang terkuat’ dalam hubungannya dengan yang lain. Kemudian hal inilah yang terus dibawa oleh individu ke dalam level kelompok, organsasi, hingga level kehidupan bernegara.
Hans J Morgenthau… “Anda telah salah memahami politik sebab anda telah salah memperkirakan sifat manusia” (Waltz 1959: 40).
  1. Pasar Bebas
kaum Liberal dan kerjasama internasional dalam bentuk pasar bebas tidak dapat menghilangkan struktur sistem internasional yang anarkhi, kaum liberal telah mangabaikan sesuatu yang disebut oleh kaum Realis sebagai keuntungan relative (relative gain) yaitu kerjasama yang lebih menguntungkan bagi salah satu negara. Karena ketika negara-negara bekerjasama melalui institusi, mereka masih melakukannya atas dasar kepentingan sendiri dan selalu mengarah pada menolong serta memelihara dirinya sendiri yang tidak satupun negara lain akan melakukuan untuknya kecuali dirinya sendiri.
Yang harus dan patut diketahui adalah tidak ada satupun aliran-aliran dari liberalis dapat melakukan penipuan terhadap argument Realis. Sepanjang anarkhi berlaku, tidak ada alasan bagi negara untuk  melepaskan diri dari menolong dirinya sendiri (self-help) dan dilemma keamanan (security dilemma).
3.      Eksistensi Realis
Lihatlah bagaimana realis menjawab klaim endisme yang paling ekstrim yaitu sebuah frase yang diajukan oleh Francis Fukuyama tentang berakhirnya sejarah, serta pedamaian yang terjadi antar Negara-negara demokratis, dengan pola pikir bahwa politik internasional akan berjalan relative aman dan damai tanpa dikejutkan lagi oleh tragedy kemanusiaan yang diakibatkan oleh perang. Realism menjadi teori usang dan bagi siapapun yang berpikir poitik internasional masih tetap anarkis setelah perang dingin berlangsung adalah pemikiran yang keliru atau pemikiran Imanuel Kant dalam pernyataannya mengenai negara demokrasi tidak saling berperang melawan negara demokrasi.
Tanpa panjang lebar, inilah beberapa fakta mencengangkan tentang fenomena politik dunia yang terjadi setelah perang dingin (1989) yang juga memberi tamparan keras terhadap pernyataan di atas: Amerika Serikat tercatat melakukan  peperangan dengan dua Negara yang relative lebih lemah sejak akhir perang dingin, yaitu dengan Irak(1991 & 2003), Kosovo (1999), afganistan (2001), dan hampir saja menyerang Korea Utara pada tahun 1994, juga konflik India-Pakistan soal klaim atas Kashmir, kedua Negara ini juga dipersenjatai dengan senjata nuklir, serta kawasan teluk Persia yang sangat rentan dengan konflik terkait peningkatan senjata nuklir oleh Iran. Hal ini menjadi bukti nyata betapa neo-realis menjawab dengan pasti fenomena yang terjadi dalam dunia internasional, dan membuktikan bahwa anarki tetap berlaku baik abad sebelumnya sampai abad saat ini.
Realism telah mendominasi Hubungan Internasional pada berbagai tingkatan, mulai dari para mahasiswa, sarjana, dan para ilmuan hubungan internasional. Selama 40 tahun, para sarjana dan praktisi hubungan internasional telah berpikir dan bertindak dalam istilah yang simplistic, tapi sangat bermanfaat dalam menjelaskan masalah-masalah internasional, dan hampir diterima secara universal.
“Sayangnya, tidaklah masuk akal bagi negara-negara demokrasi liberal sekalipun untuk mengubah anarki” (Mearsheimer 1991: 123).